Minggu, 23 November 2014

Sejarah lahirnya PGRI



MENGENANG LAHIRNYA PGRI DI SOLO

Pada waktu proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Militer Jepang masih berkuasa di seluruh wilayah Indonesia, walaupun pemerintah pusatnya sudah menyerah kalah pada sekutu. Terjadilah perebutan kekuasaan antara pemerintah militer Jepang yang masih mau mempertahankan kekuasaannya yang sudah goyah dengan Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Perebutan kekuasaan tersebut ada yang berlangsung melalui pertempuran, ada yang melalui perundingan. Dalam beberapa waktu berhasil diselesaikan penyerahan kekuasaan pemerintah militer Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia belum sempat mengadakan konsolidasi, tiba-tiba datang mendarat bersama-sama tentara sekutu, tentara Pemerintah Hindia Belanda dalam jumlah yang besar dengan senjata lengkap serba modern. Pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengambil alih pemerintahan dan menguasai kembali Indonesia seperti pada waktu sebelumnya. Terjadilah perang kemerdekaan Indonesia melawan Pemerintah Hindia Belanda yang dibantu tentara Sekutu. Walaupun persenjataan tentara Hindia Belanda serba lengkap dan modern baik di darat, laut, maupun udara, tetapi ternyata mereka tidak dapat maju dengan cepat, bahkan terpaksa berhenti tidak mampu menembus lebih jauh garis pertahanan tentara kita yang bersenjata serba sederhana.
Menghadapi kenyataan pahit itu, terpaksa Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perundingan dan mengakui secara de facto Pemerintah Republik Indonesia, dan kemudian diadakan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Perundingan menghasilkan persetujuan yang mengikat kedua belah pihak untuk menghormati dan melaksanakan keputusan bersama. Dalam persetujuan tersebut ditetapkan garis kedudukan pasukan masing-masing yang dikenal dengan garis demarkasi, sehingga terjadilah status quo. Walaupun persetujuan telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, pelanggaran tetap saja terjadi.

Dalam keadaan yang terancam itu, Pemerintah Republik Indonesia masih harus mampu mengatasi gejolak golongan masyarakat tertentu yang tidak dapat mengendalikan diri, memperjuangkan dan memaksakan aspirasi golongannya kepada Pemerintah. Bentrokan-bentrokan tidak dapat dihindari lagi dan berakibat melemahkan kedudukan Pemerintah kita. Meskipun demikian, instansi pemerintah dengan sekolah-sekolah, toko,  pasar, dan lembaga masyarakat tetap terus berjalan. Kegiatan instansi dan lembaga tersebut memang sangat terbatas karena sumber daya dan dana yang minim. Demikian pula keadaan pendidikan dan sekolah-sekolah.

Sementara itu, sisa-sisa sikap mental zaman penjajahan Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Militer Jepang memberi bekas yang dalam di lingkungan pendidikan yang memerlukan waktu lama untuk menghapusnya. Pada jaman penjajahan, pemerintah Belanda menerapkan politik devide et impera, yang secara umum mennjadikan kita terpecah-pecah kemudian dikuasi. Cara tersebut dilakukan di segala bidang. Hal-hal yang berbeda walaupun kecil mengenai sifat, tabiat, bahasa, agama, dan adat istiadat masyarakat Indonesia selalu dibesar-besarkan kemudian dihasut, diadu domba antara golongan satu dengan yang lain. Dengan demikian di antara bangsa Indonesia tidak ada rasa kesatuan, persatuan, dan kesamaan nasib, justru tertanam rasa benci, curiga, dan permusuhan satu dengan yang lain.

Dalam kondisi dan situasi yang demikian itu, di Kota Solo, di aula Sekolah Guru Putri (SGP) yang terletak di Jalan kartini (sekarang SMP 3 dan 10) berlangsung Kongres Guru Pertama yang melahirkan organisasi profesi, organisasi perjuangan dan serikat pekerja yang bernama “Persatuan Guru Republik Indonesia” (PGRI) yang nasionalis dan unitaristik. Dengan lahirnya PGRI di awal kemerdekaan yang diwarnai dengan ledakan bom dan mesiu perang kemerdekaan, maka hapus sudah organisasi kelompok-kelompok guru yang berlainan aspirasi perjuangannya. Semua guru bersatu, berjuang di bawah panji PGRI. Sampai sekarang, sampai diresmikannya Monumen PGRI di kota kelahirannya ini, PGRI menjadi organisasi yang besar, kuat, dan berwibawa.

Persiapan Kongres Pertama 
Pada majalah Suara Guru edisi Khusus peringatan Hari Ulang Tahun ke-40 PGRI yang terbit 31 Oktober 1985, Bapak Moch. Hoesodo, salah seorang guru SGP, menulis sebagai berikut:
“Pada permulaan bulan Oktober 1945, saya menerima undangan dari Bapak Kusnan-Kepala Sekolah Guru Puteri- untuk menghadiri suatu pertemuan di rumahnya, di rumah dinasnya di Jalan Kartini no. 22 (dalam kampus SGP). Waktu itu saya mengira pertemuan tersebut akan membicarakan soal-soal kedinasan. Hadir dalam pertemuan itu kira-kira sepuluh orang. Beberapa orang di antaranya masih saya ingat namanya yaitu Bapak Siswowardojo, Bapak Siswowidijom dan Bapak Baroya. Semuanya guru, mulai dari Sekolah Rakyat (kini bernama SD), SMP, SMY (kini SMA), Sekolah Guru sampai Sekolah Teknik. Latar belakang pendidikannya saya ketahui: ada yang HKS, dari HIK, dari KS, NS, dan lain-lain. Agamanya pun berbeda-beda: Islam, Kristen, Katholik”

Bapak Kusnan mengutarakan apa maksud diadakan pertemuan itu. Beliau mengajak para hadirin untuk membentuk suatu persatuan guru, yang akan mempersatukan semua guru, dengan tidak memandang latar belakang pendidikan atau agama, sehingga tidak akan terulang lagi keadaan seperti pada zaman kolonial: ada HKS Bond, ada OVO, ada PGRI, ada NSB, dsb.
Segenap hadirin menyambut baik ide pak Kusnan itu. Tidak ada yang tidak setuju. Rapat akhirnya memutuskan untuk menyebut persatuan itu sebagai PGSI (Persatuan Guru Seluruh Indonesia). Pak Kusnan terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Atas inisiatif pak Kusnan, PGSI mengajak semua guru di wilayah Republik Indonesia untuk berkongres di Solo. Untuk memberi kesempatan mengadakan persiapan secukupnya, maka kongres itu direncanakan, diselenggarakan pada akhir bulan November 1945, di gedung SGP, di Jalan Kartini, Solo.

Surat-surat ajakan untuk mengadakan Kongres Guru itu dijatuhkan di Kantor Kabupaten yang kemudian diteruskan kepada Kantor Pengajaran dari daerah yang bersangkutan. (Redaksi: agaknya Sdr. Moch. Hoesodo tidak mengetahui, bahwa RRI telah memberi bantuan dengan menyiarkan ajakan PGSI tersebut beberapa kali).

Sambutan dari daerah-daerah lain luar biasa, semuanya antusias dengan ide dari Solo itu. Pada saya tidak ada catatan berapa orang yang hadir dalam kongres pertama itu, dan mewakili berapa kabupaten.
“Adapun SGP yang dijadikan medan kongres itu sudan semestinya. Bukankah ketua PGSI juga menjabat Kepala SGP? Di SGP tersedia sebuah asrama. Murid-murid diliburkan selama kongres agar asrama bisa digunakan sebagai tempat penginapan para peserta kongres.”

Perlu dijelaskan bahwa selama kongres itu para siswa yang diliburkan hanya para siswa yunior, sedang para senior dan guru-guru membantu panitia kongres sesuai dengan bakatnya masing-masing. Ketua panitia Bapak B. Suparno dan Bapak Ali Marsaban sebagai Wakil Ketua.

Saat-saat yang Menentukan
Bapak Ali Marsaban sebagai Wakil Ketua Panitia kongres menulis kesan mendalam sebagai berikut:
“waktu kongres akan dimulai, Bapak Suparno jatuh sakit, sehingga tugas membuka kongres diberikan kepada saya. Sayalah yang mendapat kehormatan untuk mengetokkan palu yang pertama kalinya sebagai tanda akan lahirnya suatu organisasi guru satu-satunya di Republik Indonesia. Pengalaman ini akan saya bawa ke liang kubur, sebagai kenangan manis di dunia-akhirat.”
Pada majalah Suara Guru No. 50 bulan November 1974 mengenai jalannya Kongres Pertama, Bapak Kusnan dalam suatu wawancara mengatakan: “Kongres pertama PGRI berlangsung dari awal sampai akhir di gedung SGP Solo, pembukaannya, perdebatannya, penetapan AD/ART, program perjuangan dan penetapan namanya. Hal ini diketahui benar oleh bekas-bekas guru dan bekas-bekas murid SGP dalam tahun 1945 dan 1946.” Sedang resepsi dan pengumuman keputusan-keputusan kongres diselenggarakan di gedung Sana Harsana dan berlangsung pada esok harinya sesudah kongres berakhir.

Tentang resepsi itu sendiri Bapak Kusnan menyatakan: “Masih ingat benar bahwa rapat terbuka tersebut tidak dihadiri oleh banyak pengunjung/tamu. Sebagian peserta kongres telah meninggalkan kota Solo, pulang kembali ke daerahnya masing-masing. Tidak karena takut atas serangan sebuah kapal terbang Inggris pada gedung RRI pada hari terkahir kongres di SGP, tetapi karena kehadiran mereka sangat diperlukan untuk memperhebat semangat mengusir Belanda dengan NICA-nya dari daerahnya masing-masing. Banyak pembesar pun tidak hadir, karena Bapak-bapak itu harus tetap di posnya masing-masing untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun pertemuan di gedung Sana Harsana mempunyai arti yang penting. Dari tempat itu disiarkan telah berdirinya PGRI yang unitaristis, independen, dan non partai politik dengan tujuan pokok: mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang telah merdeka dan tidak terpecah-pecah.”

Pada edisi Suara Guru tersebut Bapak Kusnan menceritakan:”…..Pada waktu membahasa AD/ART PGRI, jam 08.30 pagi (oleh Bapak Kusnan dikoreksi menjadi siang hari) stasiun radio Surakarta yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari gedung SGP, tempat utusan PGRI bersidang dibom oleh Inggris. Para peserta mencari perlindungan di bawah meja dan di luar gedung SGP, namun setelah kapal terbang pergi, dengan tabah hati para peserta/utusan melanjutkan sidang dan hari itu juga sidang berhasil menetapkan AD/ART PGRI dan memilih Pengurus Besar yang pertama. Hal itu membuktikan bahwa PGRI sejak lahirnya adalah organisasi perjuangan, tidak hanya menuntu perbaikan nasib saja, akan tetapi lebih dari jauh dari itu: bahwa PGRI tetap konsisten terhadap perjuangan dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.”

Dalam kongres itu utusan dari Solo mengusulkan nama PGSI untuk persatuan guru yang baru itu, tetapi kongres memilih nama lain yang lebih tepat, yaitu PGRI, singkatan dari Persatuan Guru Republik Indonesia. Nama PGRI merupakan usulan kawan-kawan guru Jawa Barat yang berjiwa unitaristis.
Kongres memilih Bapak Amin Singgih sebagai Ketua I PGRI dan Bapak Rh. Kusnan sebagai ketua II.

Modal PGRI: Tekad dan Semangat Perjuangan
PGRI berdiri bermodal tekad semangat perjuangan. Bapak Amin Singgih, Ketua PGRI, segera melengkapi susunan Pengurus Besar yang ditetapkan pada rapat pertama yang diselenggarakan di salah satu ruangan kantor Mangkunegaran. Bapak Amin Singgih menjabat Kepala Pendidikan Mangunegaran atau disebut Pembesasr Baroyowiyoto. Maka susunan Pengurus Besar PGRI adalah sebagai berikut:
a.    Ketua I: Amin Singgih
b.    Ketua II: Rh. Kusnan
c.    Ketua III: Soemitro
d.    Penulis I: Djajeng Sugianto
e.    Penulis II: Ali Marsaban
f.     Bendahara I: Sumadi Adisasmito
g.    Bendahara II: Martosudigdo
h.    Anggota: Siti Wahyunah
i.     Anggota: Siswowidjojo
j.     Anggota: Siswowardojo
k.    Anggota: Parmodjo

Dua bulan kemudian Bapak Amin Singgih diangkat menjadi Bupati Mangkunegaran, sehingga karena kesibukannya terpaksa mengundurkan diri sebagai Ketua PGRI. Pimpinan PGRI diserahkan kepada Bapak Rh Kusnan yang menjabat Ketua II. Kembali SGP memegang peranan dalam keberadaan PGRI, karena sejak Bapak Rh Kusnan menjadi Ketua PGRI maka Kantor Pengurus Besar PGRI berada di kampus SGP yang sementara itu sudah pindah di Jalan Monginsidi, Margoyudan.
Susunan Pengurus Besar berubah menjadi sebagai berikut:
a.    Ketua I: Rh. Kusnan
b.    Penulis I: Sastrosumarto
c.    Penulis II: Kadjat Martosubroto
d.    Bendahara I: Sumidi Adisasmito
e.    Bendahara II: Martosudigdo
f.     Anggauta: Djajengsugianto
g.    Anggauta: Siswowardojo
h.    Anggauta: Ny. Nurhalmi
i.     Anggauta: Suspanji Atmowirogo
j.    Anggauta: Baroja

Di tengah kancah perang kemerdekaan yang makin hebat, PGRI di bawah pimpinan Rh. Kusnan yang penuh kreativitas menunjukkan kehadirannya dalam perjuangan besar bangsa dan negaranya.


-    PGRI mengutamakan bergerak sebagai organisasi perjuangan yang membina persatuan dan kesatuan dalam menentang Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. PGRI belum merupakan serikat sekerja yang memperjuangkan kepentingannya sendiri melalui segala bentuk tuntutan.
-    Dalam keadaan serba kekurangan sumber daya, Pengurus Besar PGRI berhasil mengusahakan penerbitan majalah “Soeara Goeroe” dengan kertas merang yang warnanya kekuning-kuningan. Sesudah dibaca oleh 10 orang huruf-hurufnya tidak terbaca lagi (baik kualitas kertas maupun sistem pengecapannya sangat sederhana).
-    Pengurus Besar tidak mudah berkunjung ke daerah-daerah karena kesulitan komunikasi dan gangguan keamanan. Perjalanan kereta api seringkali terhenti karena kekurangan atau kehabisan bahan bakar. Dalam perjalanan seringkali harus menghadapi pos-pos penjagaan yang mengadakan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai.
-    PGRI mula-mula memperkuat Barisan Buruh Indonesia (BBI) sebagai gerakan buruh nasional yang menentang penjajah Belanda. Tetapi ketika BBI sebagai gerakan buruh nasional pada tahun 1946 diubah menjadi Partai Buruh Indonesia maka PGRI keluar dari BBI. Demikian pula halnya dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika SOBSI masih nonpartai, semua serikat sekerja menjadi anggota. Tetapi setelah SOBSI berganti corak, menginduk Partai Komunis Indonesia (PKI) maka banyak serikat sekerja termasuk PGRI yang meninggalkan SOBSI dan membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
-    PGRI tidak mempunyai uang karena kontribusi atau iuran tidak masuk dan tidak ada donatur.
Pada tanggal 22-23 Desember 1946 PGRI menyelenggarakan kongres kedua dengan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kongres Kedua PGRI diselenggarakan di Pendhopo Kepatihan Surakarta dan dihadiri oleh Bapak Presiden Sukarno. Dalam penyelenggaraan kongres tersebut, para siswa dan guru-guru SGP juga ikut membantu, sampai ikut mencari dana dengan menyelenggarakan pertunjukan di Sriwedari.
Pada kongres PGRI Bapak Rh. Kusnan sebagai ketua PGRI menyampaikan pidato yang isi ringkasnya seperti berikut:
-    Dalam alam Indonesia Merdeka hendaknya dunia pendidikan juga diadakan perubahan sehingga tidak sama sistem dan pelaksanaannya dengan zaman pemerintahan Hindia Belanda dan penjajahan pemerintah militer Jepang, supaya selekasnya didasarkan kepada kepentingan nasional.
-    Hendaknya bagi lulusan sekolah kejuruan juga mendapat kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum dapat melanjutkan ke universitas atau perguruan tinggi. Dengan demikian, jumlah sarjana akan lebih cepat bertambah.
-    Diusulkan agar kedudukan guru diperbaiki tanpa menyinggung-nyinggung kenaikan gaji. Maksudnya ialah agar bagi para guru diberi kesempatan untuk meningkatkan jenjang jabatannya melalui pendidikan yang sesuai, misalnya guru SD dapat meningkat menjadi guru SMP, kemudian SMA dan Universitas melalui pendidikan yang ditentukan. Pendidikan tersebut dapat berupa kursus baik lisan maupun tertulis. Dengan demikian guru menjadi tertarik untuk terus belajar meningkatkan ilmu dan kemahirannya sampai jenjang yang tertinggi.
-    Supaya gaji guru tidak terhenti dalam satu kolom.
-    Hendaknya diadakan Undang-Undang Pokok Pendidik dan Undang-Undang Pokok Perburuhan.

Pidato tersebut ditutup dengan semboyan:
“Guru bukan penghias alam yang tidak dapat dipakai kalau perlu dan dibuang kalau sudah layu dan tidak berguna lagi. Guru ialah pembentuk jiwa, pembangun masyarakat.” (admin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar